“Alergi”
adalah istilah kedokteran. Dalam dimensi sosial kurang lebih maksudnya adalah
reaksi yang berlebihan ketika tak dapat menerima sesuatu di lingkungannya. Di
lain pihak “budaya” didefiniskan sebagai hasil daya cipta, rasa, dan karsa
manusia yang dilakukan secara sadar. Wujud kebudayaan berupa pola pikir, tata
krama, budi pekerti, adat, ritual, kesenian, makanan, pemukiman, tata busana,
dll. Budaya itu hidup di tengah masyarakat sebagai karakter dan identitas masyarakat
itu sendiri.
Budaya
nusantara telah terbukti menyatukan nusa-nusa (pulau-pulau) menjadi satu
kesatuan kehidupan terintegrasi yang disebut “nusantara”. Perekatnya adalah
budaya adiluhung yang diwariskan nenek moyang.
Jaman
bergerak jauh ke depan. Budaya nusantara sedang diusik oleh anak cucu buyutnya
sendiri yang “alergi” dengan budayanya sendiri. Mereka terilhami keyakinan
negeri antah berantah. Lancang menyalahkan budaya leluhur atas nama “kebenaran”
untuk merongrong bahkan meniadakannya. Tanpa tedeng aling-aling dan tak
sungkan-sungkan menuduh budaya nusantara sesat, penyebab bencana, mengundang
setan, dll. Hatinya digelapkan oleh fanatisme, bujuk rayu surga, mabuk keinginan
mendirikan satu keyakinan dengan mengabaikan kebhinekaan. Durhaka karena terbelenggu
nafsu menghancurkan budaya bangsa sendiri, tanpa merasa tulah / kualat. Menderita
kalbunya melihat keajegan budaya nusantara. Namun bagi mereka adalah sebuah kewajiban
menegakkan ideologinya.
Nusantara
merintih, para moyang sedih di alam sana melihat cucu buyutnya menginjak-injak harkat
martabat yang paling hakiki yakni keyakinan dan budayanya. Nusantara prihatin ketika
para penghuninya dilarang-larang untuk melakukan larung sesaji, menari, membuat
patung, berpakaian adat, pemilihan putri Indonesia, menyimpan keris, menonton
wayang, selametan kelahiran, atraksi seni budaya,dll. Belum lagi perusakan
situs-situs sejarah budaya. Para Danghyang nusantara gerah dengan ulah cucu
buyutnya yang cumangkah mengugat laku mulya para moyang dan setiap hari
meneriaki budaya nusantara dengan istilah-istilah import yang tak enak didengar.
Mereka
tak berpikir bahwa ketika budaya nusantara lenyap, maka nusantara pun sirna. Tinggal
nusa-nusa (pulau-pulau) yang dipenuhi ego, kemunafikan, fanatisme, kekerasan,
dan radikalisme. Karena “antara” atau perekatnya yakni budaya leluhur dihancurkan.
Budaya baru yang dibawa dari negeri nun jauh di sana tak akan mampu merawat
nusantara, tak cocok dengan karakter manusia nusantara, tak akan dapat menyatu
dengan tanah nusantara.
Nusantara
hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan keingkaran ini. Pertiwi nusantara
hanya bisa mengadu kepada Sang Waktu, tak akan berkonfrontasi sambil menunggu Sang
Kali Sangara mengakhiri kecongkakan anak cucu buyutnya itu.
Sebelum
Sanghyang Adi Kala “alergi” melihat kelakuan mereka, semoga mereka sadar dan eling
terhadap akar sejatinya, sadar budi pekerti sejati, eling rumah sejatinya,
paham akan kesejatian nusantara. Semoga “Sirna Hilang Kerthaning Bhumi
Nusantara” tahap dua dapat dihindari. Ampura.
#NusantaraShanti
#NusantaraJaya #BudayaNusantaraAdiluhung #NusantaraSejati
kanduksupatra.blogspot.com
dan kibuyutdalu.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar