Langsung ke konten utama

“Megama Laku” Para Leluhur Nusantara


“Agem-ageman” (falsafah hidup) leluhur nusantara sejatinya “ngelakoni” / menjalankan hakikat budi pekerti yakni sujud bhakti dan bepasrah diri kehadapan Hyang Maha Bijaksana. Bukan “beragama filsafat” dimana ajaran-ajaran agama, ayat-ayat suci dibaca habis, dihafal tuntas, lalu diperdebatkan. Kalau sudah “debat” pastilah ada pihak yang memiliki pendapat berbeda yang menyatakan kebenaran pula. Sedangkan agama memiliki “kebenaran tunggal”. Bagaimana manusia yang fana ini bisa memperdebatkan kebenaran tunggal yang hakiki? kecuali mereka terbelenggu oleh pembenaran menurut mereka sendiri.
Urusan filsafat diserahkan kepada beliau para Maha Mpu, Maharesi yang telah mencapai level bijaksana, yang mampu memahami kebenaran hakiki dari ajaran agama. Masyarakat awam tinggal mengikuti kebijakan kebenaran para Danghyang dalam bentuk etika dan upacara.
Para leluhur beragama “bhakti” dan “berpasrah diri” bukan berarti “diam”. Mereka memuja seiring dengan nafas kehidupan, berdoa sejalan dengan langkah kakinya, bersujud senada dengan irama wacananya. Berpasrah diri dalam dharma untuk menunaikan “dharmaning kahuriapan” (kewajiban hidup).
Mereka bekerja dalam ketulusan, berkesenian dalam doa, berbudaya dalam pemujaan, serta berkarya sebagai ritual. Dengan selalu menjunjung prinsip hidup dalam keharmonisan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Ida Betara.
Memuja Hyang Esa dalam bentuk paling sederhana untuk dipahami, yang terdekat dengan dirinya dan lekat dengan pekerjaannya.
Menstanakan Hyang Maha Bijak diantara patung patung, pretima, pelawatan, kober - kober, tedung – tedung suci, senjata nawa dewata.
Memuja Hyang Maha Suci di atas dasa aksara, rerajahan, warna-warna, bunga-bunga, buah-buahan, banten – banten, batu-batu, api, air, daun-daunan.
Memuliakan Hyang Maha Agung dalam rangkaian nada gambelan, kidung suci, dan tandang tangkep tari wali.
Sujud kepada Hyang Maha Acintya dalam semilir wangi asep menyan majegau cendana, dan di setiap molekul air “tirtha wangsuhpada”, sebagai simbol kedekatan rasa di dalam upaya menghaluskan budi.
Begitulah leluhur nusantara… mereka adalah penganut “agama laku” yang senantiasa berkarya dan memuja tanpa pernah terikat pada hasil dari apa yang dilakoni.
#BudiPekertiLeluhurNusantara #GamaLakuNgelakoni kanduksupatra.blogspot.com kibuyutdalu.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sri Jaya Kesunu – Galungan – Betari Durga

Babad Usana Bali Pulina mengisahkan kekuasaan raja Sri Kesari Warmadewa (Dalem Slonding), berkedudukan di Singamandawa. Beliau digantikan oleh Udayana Warmadewa. Pada masa ini kerajaan tentram. Raja berikutnya adalah Sri Walaprabu. Tak lama kemudian digantikan oleh Sri Nari Prabu. Lalu digantikan oleh Sri Jaya Sakti. Pada masa – masa ini raja tidak langgeng, cenderung pendek umur. “Gumi kegeringan” (alam bergejolak dan rakyat menderi ta). Hal ini menggugah pengganti Sri Jaya Sakti yakni raja Sri Jaya Kesunu untuk mencari sebabnya. Lalu pada suatu hari, tengah malam Raja Sri Jaya Kesunu menuju ke perhyangan Betari Nini (Betari Durga) di Pura Dalem Kedewatan (Dalem Puri) untuk melakukan tapa brata yoga samadhi. Singkat cerita, setelah memanunggalkan bayu, sabda, idep, Hyang Betari Nini berkenan hadir di hadapan Sri Jaya Kesunu. Ida Betari Nini bersabda ” Hai anaku Sri Jaya Kesunu, apa maksudmu kemari? Sri Jaya Kesunu menjawab “Hyang mulia Ida Betari, hamba mohon restu ...

Kajeng Klion Pemelastali WATUGUNUNG RUNTUH

Redite Kliwon wuku Watugung disebut Watugunung Runtuh. Mitologinya adalah sebagai berikut: Sang Prabu Kulagiri raja kerajaan Kundadwipa memiliki istri Dewi Sinta dan Dewi Landep. Mereka berdua ditinggal ke Gunung Mahameru untuk bertapa. Saat itu Dewi Sinta sedang hamil. Karena lama tak kembali, Dewi Sinta dan Dewi Landep menyusul Sang Prabu ke pertapaan. Dalam perjalanan Dewi Sinta melahirkan di atas sebuah batu. Bayi itu kemudian diberinama “Watugunung”. Singkat cerita, tabiat anak itu keras kepala. Suatu hari ia tak sabar untuk makan. Saking kesalnya, ibunya memukul kepala Watugunung dengan “siut” (pengaduk nasi) sampai terluka. Watugunung marah lalu pergi dan bertapa di hutan. Dewa Brahma menganugrahkan kesaktian bahwa ia tak akan terkalahkan oleh siapapun, kecuali musuh yang ber-Triwikrama (Wisnu). Sejak itu Watugunung menjadi angkara murka. Ia menaklukkan raja-raja mulai dari Sang Prabu Ukir, Prabu Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga.. dan seterusnya sampai Sang ...

Bedawang Mekiyud

Para tetua di nusantara ini memahami dan meyakini bahwa bumi ini disangga oleh kekuatan semesta yang bersemayam di Sapta Petala (dasar bumi). Para bijak menggambarkan dengan seekor penyu api yang disebut Bedawangnala dililit oleh dua ekor naga semesta yang disebut Naga Anantaboga dan Naga Besuki. Ketiganya menjaga kestabilan Ibu Pertiwi agar kokoh berada pada posisinya. Dalam situasi tertentu, terjadi ketidakseimbangan tekanan energi di dasar bumi, maka keku atan penyeimbang ini akan bergerak. Bedawangnala akan sedikit menggerakkan badannya atau sedikit menggeliat untuk mendapatkan keseimbangan yang baru, sehingga posisinya akan terasa lebih nyaman. Namun tetap dalam ikatan kedua naga tersebut. Ketika Bedawangnala sedikit menggerakkan badannya, maka saat itu terjadi pergerakan di perut bumi, lempengan dasar bumi, dan pergerakan dapur magma. Hal ini akan memunculkan gempa bumi, gunung meletus, air laut bergejolak, dan dampak ikutan lainnya. Para tetua jaman dahulu me...