Langsung ke konten utama

“Sulur Pamujan”


Leluhur mewariskan cara beragama dengan menyembah Betara. Karena “betara” adalah perwujudan Ida Sanghyang Widhi Wasa yang terdekat dengan nalar manusia. Jika bicara tentang Sang Hyang Widhi, sungguh suatu yang sangat jauh, bersifat acintya, tak terpikirkan, keberadaannya tak terjangkau oleh nalar manusia yang terbatas sedangkan beliau tak terbatas. Bersifat “nir”, sangat gaib. Namun dalam kegaiban itu beliau sangat nyata. Inilah rahasia Hyang Tunggal yang tak tak terpikirkan oleh manusia.
Lalu leluhur menyederhanakan pemahaman terhadap Hyang Widhi dalam wujud Betara Sesuhunan, agar bisa dipahami oleh akal manusia. Diwujudkan dalam batas nalar dan fungsi. Artinya Ida Betara Sesuhunan adalah perwujudan Hyang Widhi dalam fungsi praktis bagi manusia.
Betara Sesuhunan dipuja untuk memohon perlindungan, mohon berkah kehidupan, kesejahteraan, dll, sesuai dengan keinginan pemujanya. Beliau digambarkan sebagai sosok mulia dengan segala kemahakuasaannya, diiringi para “ancangan, rencang, unen - unen” (pengawal), “gandarwa” (penyanyi kayangan), “widyadara – widyadari” (penari kayangan), dll.
Dipersembahkan ayaban (sesaji / banten), wangi – wangian, disiapkan “seperadeg” (seperangkat) busana suci, diiring “lunga / melancaran” (beranjangsana) keliling desa, diajak “melilacita” (bersenang - senang), dipersembahkan “lelanguan” berupa tari sakral, kidung suci, serta gambelan. Dipersembahkan ayaban, pedatengan, pemendakan, pemendetan, penyamblehan, sajeng mentah sajeng rateng (arak berem), dll. Diperlakukan sebagaimana layaknya manusia dalam dunia nyata. Dengan harapan Beliau senang dan berkenan melimpahkan waranugraha.
Tak jarang para ancangan, rencang – rencang Ida memasuki raga para petapakan, sadeg, atau pemangku, lalu kerauhan dengan segala perilakunya. Hal ini diyakini bahwa Ida Betara Sesuhunan telah hadir dan berkenan menyaksikan sembah saji pemujanya.
Dalam melangsungkan pemujaan, leluhur juga membuat“niasa”(simbol) dan “sulur pamujan”(tata laksana pemujaan). Agar mereka yang tak bisa bicara, tak bisa membaca, tak bisa melihat, tak bisa mendengar, mereka yang tak berpengetahuan dll., tetap dapat melaksanakan pemujaan. Sehingga mereka terhindar dari cap tidak beragama. Demikian leluhur mengemas laku pemujaan kepada Hyang Tunggal.
“Sulur luhur para leluhur”ini tinggal dilanjutkan saja tanpa harus berpaling ke kanan dan ke kiri melirik yang jauh. Ampura.
#LeluhurSulurLuhur #AncanganRencangUnenUnen #Niasa #SulurPamujan #BetaraSesuhunan kanduksupatra.blogspot.com kibuyutdalu.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sri Jaya Kesunu – Galungan – Betari Durga

Babad Usana Bali Pulina mengisahkan kekuasaan raja Sri Kesari Warmadewa (Dalem Slonding), berkedudukan di Singamandawa. Beliau digantikan oleh Udayana Warmadewa. Pada masa ini kerajaan tentram. Raja berikutnya adalah Sri Walaprabu. Tak lama kemudian digantikan oleh Sri Nari Prabu. Lalu digantikan oleh Sri Jaya Sakti. Pada masa – masa ini raja tidak langgeng, cenderung pendek umur. “Gumi kegeringan” (alam bergejolak dan rakyat menderi ta). Hal ini menggugah pengganti Sri Jaya Sakti yakni raja Sri Jaya Kesunu untuk mencari sebabnya. Lalu pada suatu hari, tengah malam Raja Sri Jaya Kesunu menuju ke perhyangan Betari Nini (Betari Durga) di Pura Dalem Kedewatan (Dalem Puri) untuk melakukan tapa brata yoga samadhi. Singkat cerita, setelah memanunggalkan bayu, sabda, idep, Hyang Betari Nini berkenan hadir di hadapan Sri Jaya Kesunu. Ida Betari Nini bersabda ” Hai anaku Sri Jaya Kesunu, apa maksudmu kemari? Sri Jaya Kesunu menjawab “Hyang mulia Ida Betari, hamba mohon restu ...

Kajeng Klion Pemelastali WATUGUNUNG RUNTUH

Redite Kliwon wuku Watugung disebut Watugunung Runtuh. Mitologinya adalah sebagai berikut: Sang Prabu Kulagiri raja kerajaan Kundadwipa memiliki istri Dewi Sinta dan Dewi Landep. Mereka berdua ditinggal ke Gunung Mahameru untuk bertapa. Saat itu Dewi Sinta sedang hamil. Karena lama tak kembali, Dewi Sinta dan Dewi Landep menyusul Sang Prabu ke pertapaan. Dalam perjalanan Dewi Sinta melahirkan di atas sebuah batu. Bayi itu kemudian diberinama “Watugunung”. Singkat cerita, tabiat anak itu keras kepala. Suatu hari ia tak sabar untuk makan. Saking kesalnya, ibunya memukul kepala Watugunung dengan “siut” (pengaduk nasi) sampai terluka. Watugunung marah lalu pergi dan bertapa di hutan. Dewa Brahma menganugrahkan kesaktian bahwa ia tak akan terkalahkan oleh siapapun, kecuali musuh yang ber-Triwikrama (Wisnu). Sejak itu Watugunung menjadi angkara murka. Ia menaklukkan raja-raja mulai dari Sang Prabu Ukir, Prabu Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga.. dan seterusnya sampai Sang ...

Bedawang Mekiyud

Para tetua di nusantara ini memahami dan meyakini bahwa bumi ini disangga oleh kekuatan semesta yang bersemayam di Sapta Petala (dasar bumi). Para bijak menggambarkan dengan seekor penyu api yang disebut Bedawangnala dililit oleh dua ekor naga semesta yang disebut Naga Anantaboga dan Naga Besuki. Ketiganya menjaga kestabilan Ibu Pertiwi agar kokoh berada pada posisinya. Dalam situasi tertentu, terjadi ketidakseimbangan tekanan energi di dasar bumi, maka keku atan penyeimbang ini akan bergerak. Bedawangnala akan sedikit menggerakkan badannya atau sedikit menggeliat untuk mendapatkan keseimbangan yang baru, sehingga posisinya akan terasa lebih nyaman. Namun tetap dalam ikatan kedua naga tersebut. Ketika Bedawangnala sedikit menggerakkan badannya, maka saat itu terjadi pergerakan di perut bumi, lempengan dasar bumi, dan pergerakan dapur magma. Hal ini akan memunculkan gempa bumi, gunung meletus, air laut bergejolak, dan dampak ikutan lainnya. Para tetua jaman dahulu me...