Ida Sanghyang Widi Wasa maha tunggal. Kemahakuasaannya yang tak terbatas diklasifikasikan oleh penyembahnya dalam tiga fungsi utama yakni pencipta, pemelihara, pelebur, dituangkan dalam konsep Tri Murti, sebutan Brahma, Wisnu, Siwa. Hyang Widhi yang maha acintya (tak terpikirkan) diwujudkan sebagai sinar suci (dewa) secara fungsional.
Selanjutnya insan waskita kembali mengejawantahkan ke dalam fungsi yang lebih praktis seperti pencipta ilmu pengetahuan (Sanghyang Aji Saraswati), pengayom petani (Sanghyang Sri), pengayom pedagang (Betara Melanting), berstana di danau (Dewi Danu), di gunung (Sanghyang Girinata), di sungai (Dewi Gangga), di laut (Hyang Baruna), di langit (Sanghyang Luhuring Akasa), bulan (Sanghyang Candra), di matahari (Sanghyang Surya), Sesuhunan Maspait, Merajapati, Sanghyang Catuspata, Pertiwi, Hyang Sapuh Jagat, dan banyak lagi sebutannya.
Hal ini lebih mendekatkan manusia sebagai pemuja dengan dewa pujaannya. Sehingga Hyang Widhi yang maha acintya terasa nyata, lebih mudah dipahami. Karena manusia memiliki keterbatasan memahami Hyang Widhi yang tak terbatas. Beliau digambarkan secara nyata sebagai “Ista Dewata” / “Betara Sesuhunan”. Kedekatan rasa ini memunculkan perwujudan praktis seperti “pretima” dan “pelawatan” barong, rangda, patung, dll. Juga melahirkan banyak pura sebagai stana Betara Sesuhunan, melahirkan banyak pelinggih.
Kemudian dalam proses pemujaan, lalu menurunkan "pengadegan", "jan bangul", "pemangku" sebagai penghubung antara manusia dengan sesuhunan. Dengan demikian fungsi Hyang Tunggal (dalam wujud ista dewata) langsung menyentuh kepentingan manusia yang melahirkan berbagai upacara persembahan.
Penguraian Hyang Tunggal ke dalam berbagai nama, fungsi, dan perwujudan inilah kerapkali memunculkan penafsiran “politeisme”. Padahal sejatinya istilah “monoteisme” maupun “politeisme” sejatinya tak penting. Karena ketika menyebut Tuhan itu “tunggal” (monoteis), maka secara bersamaan kita menyebut Hyang Tunggal itu “tak terhingga” (politeis). Istilah monoteis dan politeis muncul akibat keterbatasan memahami hakekat Hyang Widhi yang “Tunggal Maha Jamak”. Yang tunggal itu sejatinya banyak. Yang banyak itu sejatinya berasal dari satu.
Ampura. Semoga tak terkena cakrabhawa rajapinulah sosod uphadrawa.
#MonoPoliteisme #HyangTunggalMahaJamak #GamaTirtha kanduksupatra.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar