Redite Kliwon wuku Watugung disebut Watugunung Runtuh. Mitologinya adalah sebagai berikut: Sang Prabu Kulagiri raja kerajaan Kundadwipa memiliki istri Dewi Sinta dan Dewi Landep. Mereka berdua ditinggal ke Gunung Mahameru untuk bertapa. Saat itu Dewi Sinta sedang hamil. Karena lama tak kembali, Dewi Sinta dan Dewi Landep menyusul Sang Prabu ke pertapaan. Dalam perjalanan Dewi Sinta melahirkan di atas sebuah batu. Bayi itu kemudian diberinama “Watugunung”.
Singkat cerita, tabiat anak itu keras kepala. Suatu hari ia tak sabar untuk makan. Saking kesalnya, ibunya memukul kepala Watugunung dengan “siut” (pengaduk nasi) sampai terluka.
Watugunung marah lalu pergi dan bertapa di hutan. Dewa Brahma menganugrahkan kesaktian bahwa ia tak akan terkalahkan oleh siapapun, kecuali musuh yang ber-Triwikrama (Wisnu). Sejak itu Watugunung menjadi angkara murka. Ia menaklukkan raja-raja mulai dari Sang Prabu Ukir, Prabu Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga.. dan seterusnya sampai Sang Prabu Dukut. Ia pun menaklukkan kerajaannya sendiri yakni Kundadwipa, lalu menikahi permaisuri kerajaan yang tak lain adalah ibunya sendiri yakni Dewi Sinta dan Dewi Landep.
Saat bercengkrama, Dewi Sinta melihat bekas luka di kepalanya. Ia terkejut bahwa suaminya itu adalah anaknya sendiri. Ia berusaha untuk memisahkan diri. Dewi Sinta mencari akal dengan mengatakan bahwa ia ingin seorang pelayan bernama Dewi Ratih yang tak lain adalah permaisuri Dewa Wisnu. Watugunung menyanggupinya. Ia pergi ke Wisnuloka untuk mendapatkan Dewi Ratih. Tentu saja Dewa Wisnu tak berkenan. Pertempuran sengit pun terjadi.
Singkat cerita, Dewa Wisnu terdesak. Bhagawan Wrehaspati lalu mengutus Bagawan Lumanglang untuk mencari tahu kesaktian Watugunung. Bagawan Lumanglang dengan wujud laba-laba mengintip pembicaraan Watugunung tentang rahasia kesaktiannya kepada Dewi Sinta. Rahasia itu kemudian disampaikan kepada Dewa Wisnu.
Dalam pertarungan berikutnya, pada hari Redite Kliwon (minggu) Dewa Wisnu ber-Triwikrama. Watugunung dikalahkan, tubuhnya terhempas jatuh ke bumi. Maka pada hari itu disebut “Watugunung Runtuh”. Hari itu disebut juga “Kajeng Klion Pemelastali”, karena dengan tewasnya Watugunung maka lepaslah ikatan tak wajar antara Watugunung dengan ibunya Dewi Sinta. Kajeng Klion ini juga merupakan kajeng klion terakhir dari rangkaian wuku dalam satu putaran.
Keesokannya Soma Umanis (senin), Watugunung menemui ajalnya, jasadnya tersangkut di batang pohon, hari itu disebut “Candung Watang”. Besoknya, hari Anggara Paing (selasa), jasad Watugunung diseret – seret, hari itu disebut “Paid-paidan”. Pada hari Buda Pon (Rabu), Watugunung siuman, hari itu disebut “Buda Urip”. Keesokan harinya Wraspati Wage (kamis), Watugunung kembali dibunuh oleh Wisnu. Namun atas belas kasihan Dewa Siwa, Watugunung dihidupkan kembali, hari itu disebut “Urip Kelantas” (hidup terus). Pada hari Sukra Kliwon (jumat), Watugunung membersihkan diri (sapuhawu), melakukan tapa brata yoga semadi, memohon pengampunan, serta memohon kepradnyanan / ilmu pengetahuan, hari itu disebut “Pangeredana”. Keesokannya, Saniscara Umanis (sabtu), Dewa Brahma menurunkan ilmu pengetahuan untuk semua umat manusia di dunia, hari itu disebut dengan “Saraswati”.
Dewa Wisnu saat itu bersabda “dalam setiap enam bulan Watugunung akan mengalami keruntuhan. Apabila jatuhnya di bumi (darat), maka akan turun hujan, apabila jatuhnya di laut, maka di bumi tak turun hujan”. Demikian sabda Dewa Wisnu. Bersamaan dengan itu pula, semua raja yang telah dibunuh oleh Watugunung dihidupkan kembali.
Nama Dewi Sinta dan Dewi Landep, nama-nama raja taklukan, dan nama Watugunung sendiri dijadikan nama-nama wuku. Sehingga dikenal wuku dari Sinta sampai Watugunung. Ampura.
#WatugunungRuntuh #Saraswati #KajengKlionPemelastali #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha kanduksupatra.blogspot.com kibuyutdalu.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar