Sebentar lagi Tumpek Wayang. Hari patirthan Sanghyang Iswara / Sanghyang Samirana.
Pada hari redite wage wuku wayang (minggu sebelum tumpek) adalah pertemuan antara Sang Sinta dan Sang Watugunung. Hari ini dikatakan “leteh” / kotor, tidak baik untuk penyucian. Sedangkan sehari sebelum Tumpek Wayang disebut “ala paksa” / “kala paksa” / “dina ala”. Karena pada hari ini Sanghyang Kala sedang berada di bumi. Itulah sebabnya Sang Gama Tirtha (umat sedarma) pada hari itu memasang “sesuwuk” yakni potongan daun pandan duri diolesi “apuh” (kapur sirih) bentuk tapak dara. Masang sesuwuk ini juga disebut “meselat” / “meselet”, karena daun pandan diselipkan di setiap bangunan rumah dan pelinggih. Demikian juga, pada setiap orang mengoleskan kapur sirih di hulu hati (dada) berbentuk tapak dara.
Keesokan harinya, pada hari Tumpek Wayang, pagi - pagi sesuwuk dipunggut dikumpulkan dalam satu wadah berupa “sidi” (ayakan), diikat dengan benang tridatu. Sesuwuk yang sudah diikat ditaruh di “lebuh” / depan rumah, disertai segehan, api takep, “tri ketuka” (mesui, kesuna, jangu), disertai “payas pebersihan”. Mesui kesuna jangu kadangkala digantikan dengan “lulun pabuan” yakni perlengkapan menginang seperti sirih, mako, buah pinang, pamor, gambir.
Pandan duri adalah simbol permohonan kekuatan Sanghyang Wisesa. Kapur sirih adalah simbol permohonan kekuatan Sanghyang Darma. Bentuk “tapak dara” sebagai simbol permohonan kesucian. Benang tridatu sebagai simbol permohonan kekuatan bayu sabda idep serta mohon perlindungan kepada Sanghyang Tri Sakti. Api takep simbol permohonan perlindungan Sanghyang Brahma. Sidi (ayakan) simbol permohonan “ke-sidi-an” / kekuatan Sanghyang Maha Wisesa. Segehan sebagai sarana “nyupat” / “nyomia” kekuatan kala menjadi dewa. “Tri ketuka” (mesui, kesuna dan jangu) simbol kekuatan untuk menolak bala.
Semua sarana itu merupakan wujud permohonan perlindungan kepada Sanghyang Maha Wisesa terhadap pengaruh negatif Kala. Juga sebagai sarana penyupatan kekuatan negatif di bhuana alit dan buana agung agar menjadi “somia” dan “nirmala”, bebas dari bahaya, bencana, penyakit, serta untuk mendapatkan “prayascita” / penyucian, di hari Tumpek Wayang.
Karena adanya unsur kekuatan Batara Kala, dina ala, pernak pernik penolak bala, serta memohon kesidian, inilah yang menyebabkan Tumpek Wayang kental dengan nuansa magis. Sampai sampai anak yang lahir pada wuku wayang mesti mendapatkan pengruatan khusus yakni penglukatan “sapuh leger” atau “nunas tirtan wayang”.
Pada hari Tumpek Wayang, Sang Gama Tirtha maprakerti menghaturkan canang wangi - wangian di sanggah dan di atas tempat tidur, dilengkapi dengan segehan. Memuja Sanghyang Iswara memohon keselamatan, kerahayuan, serta kesucian.
Sang Gama Tirtha yang memiliki sarwa tetabuhan, gong, gender, gambang, pratima, “ringgit” / wayang, maprakerti menghaturkan suci, peras, ajengan ulam itik putih, sedah woh, canang raka, pesucian, dll. mengayat Sanghyang Iswara / Siwa. Sedangkan Sang Dalang maprakerti kepada dirinya sendiri natab sesayut, tumpeng guru, prayascita, penyeneng, mengayat Sanghyang Samirana / Siwa dalam prabawa sebagai pengayom para dalang.
Demikian dalam cakepan Pakem Gama Tirtha, Sapta Gama, dan Sunar Igama. Ampura.
#TumpekWayang #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #SanghyangSiwa #SanghyangIswara #SanghyangSamirana #Sesuwuk #AlaPaksa #KalaPaksa #Ringgit #TriKetuka #Sidi #KiBuyutDalu kanduksupatra.blogspot.com kibuyutdalu.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar