Langsung ke konten utama

Sorga “konon katanya”


Lagi – lagi tentang “sorga”. Ia memang begitu istimewa bagi manusia di dunia. Nama aslinya “swargaloka” dalam peradaban Budi Pekerti Leluhur Nusantara. Konon merupakan sebuah tempat penuh keindahan, kenyamanan, ketentraman, kemakmuran, serta kebahagiaan. Konon katanya. Manusia fana hanya mendengar ceritanya saja, tak tahu sejatinya.
Berawal dari cerita “konon” inilah sorga menunjukkan kesaktiannya. Ia memiliki daya pikat yang sangat kuat. Ia bisa merubah watak manusia di dunia menjadi “radikal”. Mengubah manusia menjadi “bebhutan”, membantai manusia lain atas iming – iming masuk sorga. Cerita tentang sorga mendorong sekelompok manusia rela “mati konyol”.
Aneh bin ajaib… untuk mencapai sorga yang penuh kedamaian dan kebahagiaan justru dengan cara menebar kebencian, teror, pembantaian, bunuh diri. Sungguh sangat keliru. Ujug – ujug mau ke sorga, la wong jenazahnya saja ditolak warga untuk dimakamkan. Maksud hati naik ke sorga, justru masuk ke jurang neraka jadi mainan para Cikrabala Sang Jogormanik, dkk. Atau bergentayangan di dunia menjadi “Bhuta Cuil” / atma kesasar.
Sangat di luar logika. Kok bisa – bisanya sorga dijadikan iming – iming oleh “para penipu” agar berbuat onar atas nama agama.
Cerita tentang sorga sungguh membuai manusia. Sorga yang “konon katanya” begitu cerah dan terang justru menggelapkan pikiran sebagian manusia di dunia. Sorga yang penuh tentram justru menumbuhkan rasa kebencian antar manusia. Sorga tetaplah sorga dengan segala keistimewaan… hanya “manusia keliru” yang menyalahartikan dalam pencapaiannya.
“Konon katanya” tiket ke sorga hanya didapat dengan kebaikan. Ia tak mengenal agama, ras, suku, jabatan, dll. Ia tak bisa “dikapling – kapling” dan bukanlah milik sekelompok orang, aliran, atau agama tertentu.
Sejatinya…. Budi Pekerti Leluhur Nusantara mewanti - wanti bahwa sorga (swargaloka) sifatnya sementara untuk menikmati sebagian “karma baik”, untuk selanjutnya menuju neraka untuk mempertanggungjawabkan sebagian “karma buruk”. Lalu balik lagi lahir ke dunia untuk berkarma lagi serta menikmati “karma wasana”. Demikian secara berulang, sampai akhirnya atas upaya pembebasan diri dari ikatan duniawi, “sang jiwa” mencapai “moksa”, kesadaran abadi “suka tan pawali duka”. Sang atman menyatu kembali ke sumbernya “paramatman”. Dalam keadaan ini “sang atman” dapat menyebut diri “aham brahma asmi” aku adalah Brahman.
Ampura. Lengak lengok di kubu metilesan dewek.
Ilustrasi: Atma Prasangsa.#SorgaNeraka #Swargaloka #Moksa kanduksupatra.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sri Jaya Kesunu – Galungan – Betari Durga

Babad Usana Bali Pulina mengisahkan kekuasaan raja Sri Kesari Warmadewa (Dalem Slonding), berkedudukan di Singamandawa. Beliau digantikan oleh Udayana Warmadewa. Pada masa ini kerajaan tentram. Raja berikutnya adalah Sri Walaprabu. Tak lama kemudian digantikan oleh Sri Nari Prabu. Lalu digantikan oleh Sri Jaya Sakti. Pada masa – masa ini raja tidak langgeng, cenderung pendek umur. “Gumi kegeringan” (alam bergejolak dan rakyat menderi ta). Hal ini menggugah pengganti Sri Jaya Sakti yakni raja Sri Jaya Kesunu untuk mencari sebabnya. Lalu pada suatu hari, tengah malam Raja Sri Jaya Kesunu menuju ke perhyangan Betari Nini (Betari Durga) di Pura Dalem Kedewatan (Dalem Puri) untuk melakukan tapa brata yoga samadhi. Singkat cerita, setelah memanunggalkan bayu, sabda, idep, Hyang Betari Nini berkenan hadir di hadapan Sri Jaya Kesunu. Ida Betari Nini bersabda ” Hai anaku Sri Jaya Kesunu, apa maksudmu kemari? Sri Jaya Kesunu menjawab “Hyang mulia Ida Betari, hamba mohon restu ...

Kajeng Klion Pemelastali WATUGUNUNG RUNTUH

Redite Kliwon wuku Watugung disebut Watugunung Runtuh. Mitologinya adalah sebagai berikut: Sang Prabu Kulagiri raja kerajaan Kundadwipa memiliki istri Dewi Sinta dan Dewi Landep. Mereka berdua ditinggal ke Gunung Mahameru untuk bertapa. Saat itu Dewi Sinta sedang hamil. Karena lama tak kembali, Dewi Sinta dan Dewi Landep menyusul Sang Prabu ke pertapaan. Dalam perjalanan Dewi Sinta melahirkan di atas sebuah batu. Bayi itu kemudian diberinama “Watugunung”. Singkat cerita, tabiat anak itu keras kepala. Suatu hari ia tak sabar untuk makan. Saking kesalnya, ibunya memukul kepala Watugunung dengan “siut” (pengaduk nasi) sampai terluka. Watugunung marah lalu pergi dan bertapa di hutan. Dewa Brahma menganugrahkan kesaktian bahwa ia tak akan terkalahkan oleh siapapun, kecuali musuh yang ber-Triwikrama (Wisnu). Sejak itu Watugunung menjadi angkara murka. Ia menaklukkan raja-raja mulai dari Sang Prabu Ukir, Prabu Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga.. dan seterusnya sampai Sang ...

Purnama Kapat

Pakem Gama Tirtha Ada hari - hari yang memang utama dimana Ida Betara mareresik / mesuci, mayoga semadi untuk menciptakan agar alam semesta menjadi rahayu. Kemudian Ida Betara turun ke dunia untuk menganugrahkan kerahayuan kepada Sang Gama Tirtha (manusia) dan kepada semua mahluk. Saat itulah hari yang baik bagi Sang Gama Tirtha mengastiti puja dan menghaturkan banten kehadapan betara betari. Purnama Sasih Kapat (Kartika) dalam kidung wargasari disebutkan sebagai bulan penuh warna warni bunga harum semerbak (kartika…. panedenging sari….). Sasih Kapat, dimana Sanghyang Baskaradipati (Sanghyang Surya) tepat berada di katulistiwa. Purnama Kapat adalah purnama utama, hari payogan Ida Betara Prameswara yang bergelar Sanghyang Purusa Sangkara diiringi oleh para dewata betara - betari, widayadara widyadari, dan para resigana. Pada hari ini sang pandita patut angarga puja, apasang lingga, melaksanakan candra sewana, serta ngaturang sesaji kehadapaan Hyang Kawitan. Kepad...