Leluhur mewariskan cara beragama dengan menyembah Betara. Karena “betara” adalah perwujudan Ida Sanghyang Widhi Wasa yang terdekat dengan nalar manusia. Jika bicara tentang Sang Hyang Widhi, sungguh suatu yang sangat jauh, bersifat acintya, tak terpikirkan, keberadaannya tak terjangkau oleh nalar manusia yang terbatas sedangkan beliau tak terbatas. Bersifat “nir”, sangat gaib. Namun dalam kegaiban itu beliau sangat nyata. Inilah rahasia Hyang Tunggal yang tak tak terpikirkan oleh manusia.
Lalu leluhur menyederhanakan pemahaman terhadap Hyang Widhi dalam wujud Betara Sesuhunan, agar bisa dipahami oleh akal manusia. Diwujudkan dalam batas nalar dan fungsi. Artinya Ida Betara Sesuhunan adalah perwujudan Hyang Widhi dalam fungsi praktis bagi manusia.
Betara Sesuhunan dipuja untuk memohon perlindungan, mohon berkah kehidupan, kesejahteraan, dll, sesuai dengan keinginan pemujanya. Beliau digambarkan sebagai sosok mulia dengan segala kemahakuasaannya, diiringi para “ancangan, rencang, unen - unen” (pengawal), “gandarwa” (penyanyi kayangan), “widyadara – widyadari” (penari kayangan), dll.
Dipersembahkan ayaban (sesaji / banten), wangi – wangian, disiapkan “seperadeg” (seperangkat) busana suci, diiring “lunga / melancaran” (beranjangsana) keliling desa, diajak “melilacita” (bersenang - senang), dipersembahkan “lelanguan” berupa tari sakral, kidung suci, serta gambelan. Dipersembahkan ayaban, pedatengan, pemendakan, pemendetan, penyamblehan, sajeng mentah sajeng rateng (arak berem), dll. Diperlakukan sebagaimana layaknya manusia dalam dunia nyata. Dengan harapan Beliau senang dan berkenan melimpahkan waranugraha.
Tak jarang para ancangan, rencang – rencang Ida memasuki raga para petapakan, sadeg, atau pemangku, lalu kerauhan dengan segala perilakunya. Hal ini diyakini bahwa Ida Betara Sesuhunan telah hadir dan berkenan menyaksikan sembah saji pemujanya.
Dalam melangsungkan pemujaan, leluhur juga membuat“niasa”(simbol) dan “sulur pamujan”(tata laksana pemujaan). Agar mereka yang tak bisa bicara, tak bisa membaca, tak bisa melihat, tak bisa mendengar, mereka yang tak berpengetahuan dll., tetap dapat melaksanakan pemujaan. Sehingga mereka terhindar dari cap tidak beragama. Demikian leluhur mengemas laku pemujaan kepada Hyang Tunggal.
“Sulur luhur para leluhur”ini tinggal dilanjutkan saja tanpa harus berpaling ke kanan dan ke kiri melirik yang jauh. Ampura.
#LeluhurSulurLuhur #AncanganRencangUnenUnen #Niasa #SulurPamujan #BetaraSesuhunan kanduksupatra.blogspot.com kibuyutdalu.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar