Langsung ke konten utama

Postingan

Katuturan I Legaprana (Kanda Lima)

Ketika ayah dan ibu masih bayi, ada sesuatu yang terpancar dari pikiran. Itu yang disebut “Sanghyang Iswara”. Setelah dewasa, pancaran pikiran inilah yang mempertemukan antara ayah dan ibu untuk menjadi suami istri. Singkat cerita, ketika telah menjadi suami istri, terjadi senggama. Benih laki-laki dan benih perempuan bertemu. Setelah sebulan pertemuan itu, timbullah pancaran matahari dan bulan. Dua bulan pertemuan itu, timbullah suara, pikiran dan tenaga. Tiga bulan pertemuan itu, terbentuklah “panca warna” Empat bulan pertemuan itu, muncul kekuatan “Dewata Nawasanga” Lima bulan pertemuan itu, bertemu kekuatan bumi dan langit, membentuk jabang bayi yang disebut “Sang Hyang Putih Majati”. Enam bulan di dalam kandungan, ada saudara jabang bayi yang keluar dari ayah, disebut dengan “Babu Lembana”. Tujuh bulan di dalam kandungan, ada lagi saudara keluar dari ibu bernama “Babu Abra”. Delapan bulan di dalam kandungan, ada lagi saudara keluar lagi dari ayah bernama “Babu ...
Postingan terbaru

“Setan Kredit”

Lucu saja melihatnya, tatkala ada seseorang atau sekelompok orang yang getol memposisikan diri sebagai kaum mulia. Di sisi lain mereka menilai orang yang beda paham dianggap bergumul dengan setan. Mereka kerap berteriak lantang “kamu setan… kalian sesat…, neraka… ”. Duh… sebegitunya pandangan mereka terhadap saudara sendiri. Hehe… rupanya mereka melihat bumi ini sudah dipenuhi “gerombolan setan”. Sepertinya eksistensi “setan” di bumi semakin kuat, sampai - samp ai konon ada “partai setan” yang meresahkan “kaum surgawi”. Kasihan para “setan - setan dunia”. Selalu dideskreditkan sebagai penista dunia, penoda kehidupan, perusak peradaban. Dasar “setan kredit”. Selalu dituduh “batil” oleh kaum pemegang “sertifikat surga”. Ampura….. Bisa jadi “gerombolan setan” tak pernah melihat kitab suci, tetapi ia bisa melihat kesucian dan kesejatian jiwa-jiwa manusia di dunia. “Gerombolan setan” mungkin tak pernah mendengarkan ceramah agama, tetapi ia selalu mendengar bisika...

TEROR PARA “BEBHUTAN”

Dalam kitab – kitab Purana dikisahkan Bhagawan Kasiapa memiliki dua orang prami yakni Dewi Diti dan Dewi Aditi. Anak – anak Dewi Diti disebut Ditya / Asura / Raksasa. Anak-anak dari Dewi Aditi disebut Aditya / para Dewa. Para Ditya dibimbing oleh seorang guru bernama Bhagawan Sukra, sedangkan para Dewa memiliki guru yakni Bhagawan Brihaspati. Putra - putra Dewi Diti dan Dewi Aditi tak pernah akur. Para Asura terus - menerus menebar teror untuk memperebut kan kayangan / surga. Perseteruan ini berlangsung abadi. Sampai pada jaman ini pula para Asura terus menebar teror, kekacauan dan kengerian atas dasar ideologi yang dikatakannya sebagai “kebenaran” padahal sejatinya “kesesatan”. Perilaku para “Asura zaman now” sama sekali tak bisa diterima logika. Para Bhuta Kala saja kalau “ngrubeda” (membuat kekacauan) masih memiliki etika. Tak sampai mengorbankan anak - anak mereka untuk “aksi sesat” orang tuanya atas dasar iming – iming surga. Rupanya “doktrinasi” dan “brai...

Sorga “konon katanya”

Lagi – lagi tentang “sorga”. Ia memang begitu istimewa bagi manusia di dunia. Nama aslinya “swargaloka” dalam peradaban Budi Pekerti Leluhur Nusantara. Konon merupakan sebuah tempat penuh keindahan, kenyamanan, ketentraman, kemakmuran, serta kebahagiaan. Konon katanya. Manusia fana hanya mendengar ceritanya saja, tak tahu sejatinya. Berawal dari cerita “konon” inilah sorga menunjukkan kesaktiannya. Ia memiliki daya pikat yang sangat kuat. Ia bisa merubah watak manusia di dunia menjadi “radikal”. Mengubah manusia menjadi “bebhutan”, membantai manusia lain atas iming – iming masuk sorga. Cerita tentang sorga mendorong sekelompok manusia rela “mati konyol”. Aneh bin ajaib… untuk mencapai sorga yang penuh kedamaian dan kebahagiaan justru dengan cara menebar kebencian, teror, pembantaian, bunuh diri. Sungguh sangat keliru. Ujug – ujug mau ke sorga, la wong jenazahnya saja ditolak warga untuk dimakamkan. Maksud hati naik ke sorga, justru masuk ke jurang neraka jadi main...

Sri Jaya Kesunu – Galungan – Betari Durga

Babad Usana Bali Pulina mengisahkan kekuasaan raja Sri Kesari Warmadewa (Dalem Slonding), berkedudukan di Singamandawa. Beliau digantikan oleh Udayana Warmadewa. Pada masa ini kerajaan tentram. Raja berikutnya adalah Sri Walaprabu. Tak lama kemudian digantikan oleh Sri Nari Prabu. Lalu digantikan oleh Sri Jaya Sakti. Pada masa – masa ini raja tidak langgeng, cenderung pendek umur. “Gumi kegeringan” (alam bergejolak dan rakyat menderi ta). Hal ini menggugah pengganti Sri Jaya Sakti yakni raja Sri Jaya Kesunu untuk mencari sebabnya. Lalu pada suatu hari, tengah malam Raja Sri Jaya Kesunu menuju ke perhyangan Betari Nini (Betari Durga) di Pura Dalem Kedewatan (Dalem Puri) untuk melakukan tapa brata yoga samadhi. Singkat cerita, setelah memanunggalkan bayu, sabda, idep, Hyang Betari Nini berkenan hadir di hadapan Sri Jaya Kesunu. Ida Betari Nini bersabda ” Hai anaku Sri Jaya Kesunu, apa maksudmu kemari? Sri Jaya Kesunu menjawab “Hyang mulia Ida Betari, hamba mohon restu ...

Arja Bondres “Teja Dharmaning Kahuripan”

Saat arja kuno mengalami krisis, entah darimana idenya, awal th 90-an sekelompok seniman menyuguhkan pertunjukan bondres menggunakan format arja. Ide ini mampu membangkitkan gairah kesenian arja yang lesu darah selama puluhan tahun. Peran Inye, Galuh, Limbur, Desak Rai, Liku, Penasar Kelihan Manis, Penasar Cenikan Manis, Mantri Manis, Penasar Kelihan Buduh, Penasar Cenikan Buduh, Mantri Buduh, semua oleh kaum laki-l aki. Dari segi pakem mungkin agak bergeser, karena lebih bersifat bebanyolan / lelucon. Entah ceritanya nyambung atau tidak, yang penting lucu, semua pemain melucu. Beda dengan pakem arja kuno yang lebih menjaga keutuhan cerita dan penyampaian tutur etika moral, diselingi dengan lelucon yang proporsional. Karena pakemnya lebih bebas, maka arja muani banyak memunculkan “pregina dadakan” alias “seniman karbitan”. Ada minat langsung mentas, tanpa memahami pakem. Seringkali pregina dadakan itu kagok, tak paham apa yang sedang d...

“Hyang Tunggal Maha Jamak” Monoteisme Gama Tirtha

Ida Sanghyang Widi Wasa maha tunggal. Kemahakuasaannya yang tak terbatas diklasifikasikan oleh penyembahnya dalam tiga fungsi utama yakni pencipta, pemelihara, pelebur, dituangkan dalam konsep Tri Murti, sebutan Brahma, Wisnu, Siwa. Hyang Widhi yang maha acintya (tak terpikirkan) diwujudkan sebagai sinar suci (dewa) secara fungsional. Selanjutnya insan waskita kembali mengejawantahkan ke dalam fungsi yang lebih praktis seper ti pencipta ilmu pengetahuan (Sanghyang Aji Saraswati), pengayom petani (Sanghyang Sri), pengayom pedagang (Betara Melanting), berstana di danau (Dewi Danu), di gunung (Sanghyang Girinata), di sungai (Dewi Gangga), di laut (Hyang Baruna), di langit (Sanghyang Luhuring Akasa), bulan (Sanghyang Candra), di matahari (Sanghyang Surya), Sesuhunan Maspait, Merajapati, Sanghyang Catuspata, Pertiwi, Hyang Sapuh Jagat, dan banyak lagi sebutannya. Hal ini lebih mendekatkan manusia sebagai pemuja dengan dewa pujaannya. Sehingga Hyang Widhi yang maha acinty...