Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2018

Katuturan I Legaprana (Kanda Lima)

Ketika ayah dan ibu masih bayi, ada sesuatu yang terpancar dari pikiran. Itu yang disebut “Sanghyang Iswara”. Setelah dewasa, pancaran pikiran inilah yang mempertemukan antara ayah dan ibu untuk menjadi suami istri. Singkat cerita, ketika telah menjadi suami istri, terjadi senggama. Benih laki-laki dan benih perempuan bertemu. Setelah sebulan pertemuan itu, timbullah pancaran matahari dan bulan. Dua bulan pertemuan itu, timbullah suara, pikiran dan tenaga. Tiga bulan pertemuan itu, terbentuklah “panca warna” Empat bulan pertemuan itu, muncul kekuatan “Dewata Nawasanga” Lima bulan pertemuan itu, bertemu kekuatan bumi dan langit, membentuk jabang bayi yang disebut “Sang Hyang Putih Majati”. Enam bulan di dalam kandungan, ada saudara jabang bayi yang keluar dari ayah, disebut dengan “Babu Lembana”. Tujuh bulan di dalam kandungan, ada lagi saudara keluar dari ibu bernama “Babu Abra”. Delapan bulan di dalam kandungan, ada lagi saudara keluar lagi dari ayah bernama “Babu ...

“Setan Kredit”

Lucu saja melihatnya, tatkala ada seseorang atau sekelompok orang yang getol memposisikan diri sebagai kaum mulia. Di sisi lain mereka menilai orang yang beda paham dianggap bergumul dengan setan. Mereka kerap berteriak lantang “kamu setan… kalian sesat…, neraka… ”. Duh… sebegitunya pandangan mereka terhadap saudara sendiri. Hehe… rupanya mereka melihat bumi ini sudah dipenuhi “gerombolan setan”. Sepertinya eksistensi “setan” di bumi semakin kuat, sampai - samp ai konon ada “partai setan” yang meresahkan “kaum surgawi”. Kasihan para “setan - setan dunia”. Selalu dideskreditkan sebagai penista dunia, penoda kehidupan, perusak peradaban. Dasar “setan kredit”. Selalu dituduh “batil” oleh kaum pemegang “sertifikat surga”. Ampura….. Bisa jadi “gerombolan setan” tak pernah melihat kitab suci, tetapi ia bisa melihat kesucian dan kesejatian jiwa-jiwa manusia di dunia. “Gerombolan setan” mungkin tak pernah mendengarkan ceramah agama, tetapi ia selalu mendengar bisika...

TEROR PARA “BEBHUTAN”

Dalam kitab – kitab Purana dikisahkan Bhagawan Kasiapa memiliki dua orang prami yakni Dewi Diti dan Dewi Aditi. Anak – anak Dewi Diti disebut Ditya / Asura / Raksasa. Anak-anak dari Dewi Aditi disebut Aditya / para Dewa. Para Ditya dibimbing oleh seorang guru bernama Bhagawan Sukra, sedangkan para Dewa memiliki guru yakni Bhagawan Brihaspati. Putra - putra Dewi Diti dan Dewi Aditi tak pernah akur. Para Asura terus - menerus menebar teror untuk memperebut kan kayangan / surga. Perseteruan ini berlangsung abadi. Sampai pada jaman ini pula para Asura terus menebar teror, kekacauan dan kengerian atas dasar ideologi yang dikatakannya sebagai “kebenaran” padahal sejatinya “kesesatan”. Perilaku para “Asura zaman now” sama sekali tak bisa diterima logika. Para Bhuta Kala saja kalau “ngrubeda” (membuat kekacauan) masih memiliki etika. Tak sampai mengorbankan anak - anak mereka untuk “aksi sesat” orang tuanya atas dasar iming – iming surga. Rupanya “doktrinasi” dan “brai...

Sorga “konon katanya”

Lagi – lagi tentang “sorga”. Ia memang begitu istimewa bagi manusia di dunia. Nama aslinya “swargaloka” dalam peradaban Budi Pekerti Leluhur Nusantara. Konon merupakan sebuah tempat penuh keindahan, kenyamanan, ketentraman, kemakmuran, serta kebahagiaan. Konon katanya. Manusia fana hanya mendengar ceritanya saja, tak tahu sejatinya. Berawal dari cerita “konon” inilah sorga menunjukkan kesaktiannya. Ia memiliki daya pikat yang sangat kuat. Ia bisa merubah watak manusia di dunia menjadi “radikal”. Mengubah manusia menjadi “bebhutan”, membantai manusia lain atas iming – iming masuk sorga. Cerita tentang sorga mendorong sekelompok manusia rela “mati konyol”. Aneh bin ajaib… untuk mencapai sorga yang penuh kedamaian dan kebahagiaan justru dengan cara menebar kebencian, teror, pembantaian, bunuh diri. Sungguh sangat keliru. Ujug – ujug mau ke sorga, la wong jenazahnya saja ditolak warga untuk dimakamkan. Maksud hati naik ke sorga, justru masuk ke jurang neraka jadi main...

Sri Jaya Kesunu – Galungan – Betari Durga

Babad Usana Bali Pulina mengisahkan kekuasaan raja Sri Kesari Warmadewa (Dalem Slonding), berkedudukan di Singamandawa. Beliau digantikan oleh Udayana Warmadewa. Pada masa ini kerajaan tentram. Raja berikutnya adalah Sri Walaprabu. Tak lama kemudian digantikan oleh Sri Nari Prabu. Lalu digantikan oleh Sri Jaya Sakti. Pada masa – masa ini raja tidak langgeng, cenderung pendek umur. “Gumi kegeringan” (alam bergejolak dan rakyat menderi ta). Hal ini menggugah pengganti Sri Jaya Sakti yakni raja Sri Jaya Kesunu untuk mencari sebabnya. Lalu pada suatu hari, tengah malam Raja Sri Jaya Kesunu menuju ke perhyangan Betari Nini (Betari Durga) di Pura Dalem Kedewatan (Dalem Puri) untuk melakukan tapa brata yoga samadhi. Singkat cerita, setelah memanunggalkan bayu, sabda, idep, Hyang Betari Nini berkenan hadir di hadapan Sri Jaya Kesunu. Ida Betari Nini bersabda ” Hai anaku Sri Jaya Kesunu, apa maksudmu kemari? Sri Jaya Kesunu menjawab “Hyang mulia Ida Betari, hamba mohon restu ...

Arja Bondres “Teja Dharmaning Kahuripan”

Saat arja kuno mengalami krisis, entah darimana idenya, awal th 90-an sekelompok seniman menyuguhkan pertunjukan bondres menggunakan format arja. Ide ini mampu membangkitkan gairah kesenian arja yang lesu darah selama puluhan tahun. Peran Inye, Galuh, Limbur, Desak Rai, Liku, Penasar Kelihan Manis, Penasar Cenikan Manis, Mantri Manis, Penasar Kelihan Buduh, Penasar Cenikan Buduh, Mantri Buduh, semua oleh kaum laki-l aki. Dari segi pakem mungkin agak bergeser, karena lebih bersifat bebanyolan / lelucon. Entah ceritanya nyambung atau tidak, yang penting lucu, semua pemain melucu. Beda dengan pakem arja kuno yang lebih menjaga keutuhan cerita dan penyampaian tutur etika moral, diselingi dengan lelucon yang proporsional. Karena pakemnya lebih bebas, maka arja muani banyak memunculkan “pregina dadakan” alias “seniman karbitan”. Ada minat langsung mentas, tanpa memahami pakem. Seringkali pregina dadakan itu kagok, tak paham apa yang sedang d...

“Hyang Tunggal Maha Jamak” Monoteisme Gama Tirtha

Ida Sanghyang Widi Wasa maha tunggal. Kemahakuasaannya yang tak terbatas diklasifikasikan oleh penyembahnya dalam tiga fungsi utama yakni pencipta, pemelihara, pelebur, dituangkan dalam konsep Tri Murti, sebutan Brahma, Wisnu, Siwa. Hyang Widhi yang maha acintya (tak terpikirkan) diwujudkan sebagai sinar suci (dewa) secara fungsional. Selanjutnya insan waskita kembali mengejawantahkan ke dalam fungsi yang lebih praktis seper ti pencipta ilmu pengetahuan (Sanghyang Aji Saraswati), pengayom petani (Sanghyang Sri), pengayom pedagang (Betara Melanting), berstana di danau (Dewi Danu), di gunung (Sanghyang Girinata), di sungai (Dewi Gangga), di laut (Hyang Baruna), di langit (Sanghyang Luhuring Akasa), bulan (Sanghyang Candra), di matahari (Sanghyang Surya), Sesuhunan Maspait, Merajapati, Sanghyang Catuspata, Pertiwi, Hyang Sapuh Jagat, dan banyak lagi sebutannya. Hal ini lebih mendekatkan manusia sebagai pemuja dengan dewa pujaannya. Sehingga Hyang Widhi yang maha acinty...

“Megama Laku” Para Leluhur Nusantara

“Agem-ageman” (falsafah hidup) leluhur nusantara sejatinya “ngelakoni” / menjalankan hakikat budi pekerti yakni sujud bhakti dan bepasrah diri kehadapan Hyang Maha Bijaksana. Bukan “beragama filsafat” dimana ajaran-ajaran agama, ayat-ayat suci dibaca habis, dihafal tuntas, lalu diperdebatkan. Kalau sudah “debat” pastilah ada pihak yang memiliki pendapat berbeda yang menyatakan kebenaran pula. Sedangkan agama memiliki “kebenaran tunggal”. B agaimana manusia yang fana ini bisa memperdebatkan kebenaran tunggal yang hakiki? kecuali mereka terbelenggu oleh pembenaran menurut mereka sendiri. Urusan filsafat diserahkan kepada beliau para Maha Mpu, Maharesi yang telah mencapai level bijaksana, yang mampu memahami kebenaran hakiki dari ajaran agama. Masyarakat awam tinggal mengikuti kebijakan kebenaran para Danghyang dalam bentuk etika dan upacara. Para leluhur beragama “bhakti” dan “berpasrah diri” bukan berarti “diam”. Mereka memuja seiring dengan nafas kehidupan, berdoa ...

“Menjangan Seluang” Ikatan spiritual leluhur nusantara

Banyak wacana tentang menjangan saluang. Sayangnya, analisis itu justru membingungkan. Namun secara sederhana “menjangan saluang” berasal dari kata “menjangan” (binatang rusa) dan “saluang” (kepala). Secara gamblang artinya adalah “kepala menjangan” / kepala rusa. Bukan “menjangan sakaluang” !! yang diartikan menjangan sebagai tiang penyangga (saka) dari bangunan pelinggih. Mengapa ada pelinggih yang diisi kepala menjangan? Adalah simbol penghormatan dan pemujaan kepada Mpu Kuturan yang telah meletakkan dasar-dasar spiritual masyarakat Bali yang dianut sejak seribu tahun yang lalu sampai saat ini. Ada pula mengatakan sebagai simbol pemujaan kepada Sang Panca Pandita (Sang Panca Resi) yakni Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya, Mpu Bradah, dan Mpu Gana. Lebih luas lagi, sebagai pemujaan ke Majapahit (tanah Jawa). Hal di atas tampak memiliki kesamaan yakni pemujaan kepada para danghyang dan para leluhur di tanah Jawa. Dengan demikian “menjangan seluang” adalah seb...

Bedawang Mekiyud

Para tetua di nusantara ini memahami dan meyakini bahwa bumi ini disangga oleh kekuatan semesta yang bersemayam di Sapta Petala (dasar bumi). Para bijak menggambarkan dengan seekor penyu api yang disebut Bedawangnala dililit oleh dua ekor naga semesta yang disebut Naga Anantaboga dan Naga Besuki. Ketiganya menjaga kestabilan Ibu Pertiwi agar kokoh berada pada posisinya. Dalam situasi tertentu, terjadi ketidakseimbangan tekanan energi di dasar bumi, maka keku atan penyeimbang ini akan bergerak. Bedawangnala akan sedikit menggerakkan badannya atau sedikit menggeliat untuk mendapatkan keseimbangan yang baru, sehingga posisinya akan terasa lebih nyaman. Namun tetap dalam ikatan kedua naga tersebut. Ketika Bedawangnala sedikit menggerakkan badannya, maka saat itu terjadi pergerakan di perut bumi, lempengan dasar bumi, dan pergerakan dapur magma. Hal ini akan memunculkan gempa bumi, gunung meletus, air laut bergejolak, dan dampak ikutan lainnya. Para tetua jaman dahulu me...

MARKANDEYA dan POHON BERINGIN

Purwakala, terjadi mahapralaya (penghancuran total). Saat itu alam semesta diliputi kegelapan, tak ada sinar sebersit pun. Dalam kegelapan yang berlangsung lama, kemudian terjadi badai petir dan halilintar yang menghancurkan pegunungan, hutan – hutan dan semua yang ada di alam semesta. Benda - benda langit berjatuhan menimbulkan kobaran api semesta. Samudra, danau, dan sungai mengering. Alam semesta terbakar termasuk para dewa dan asura. Saat mahapralaya berlangsung, resi Markandeya sedang sibuk dengan tapanya. Karena kekuatan tapanya, api pralaya tak sanggup menyentuhnya. Dalam kobaran api itu, Markandeya melihat sebuah pohon beringin yang tak terbakar oleh api pralaya. Markandeya menuju ke bawah pohon beringin itu sambil memuja Hyang Wisnu. Kemudian awan menggumpal menyelimuti alam semesta. Hujan turun sangat lebat yang berlangsung terus – menerus. Air memenuhi permukaan alam semesta yang memadamkan kobaran api pralaya. Samudra tersisi penuh menenggelamkan pegun...

“Sulur Pamujan”

Leluhur mewariskan cara beragama dengan menyembah Betara. Karena “betara” adalah perwujudan Ida Sanghyang Widhi Wasa yang terdekat dengan nalar manusia. Jika bicara tentang Sang Hyang Widhi, sungguh suatu yang sangat jauh, bersifat acintya, tak terpikirkan, keberadaannya tak terjangkau oleh nalar manusia yang terbatas sedangkan beliau tak terbatas. Bersifat “nir”, sangat gaib. Namun dalam kegaiban itu beliau sangat nyata. Inilah rahasia Hyang Tunggal yang tak tak terpikirkan oleh manusia. Lalu leluhur menyederhanakan pemahaman terhadap Hyang Widhi dalam wujud Betara Sesuhunan, agar bisa dipahami oleh akal manusia. Diwujudkan dalam batas nalar dan fungsi. Artinya Ida Betara Sesuhunan adalah perwujudan Hyang Widhi dalam fungsi praktis bagi manusia. Betara Sesuhunan dipuja untuk memohon perlindungan, mohon berkah kehidupan, kesejahteraan, dll, sesuai dengan keinginan pemujanya. Beliau digambarkan sebagai sosok mulia dengan segala kemahakuasaannya, diiringi para “ancan...

“Sentana Gugat” Laku Leluhur Menyembelih Binatang

Tak pernah rasanya terdengar bahwa para leluhur berdebat tentang surga - neraka. Mereka juga tak pernah berdebat tentang kebenaran. Mereka hanya tahu dan berbuat sesuatu untuk kehidupan, kebaikan dan kemuliaan. Yang diketahuinya hanyalah layakkah… baikkah…. pantaskah. Dalam tradisi leluhur, kalau pun toh memang harus menyembelih binatang, maka hal ini dilakukan atas dasar “asih, punia, bakti”. Ada rasa kasih sayang di dalamnya, ada niat berbuat kebaikan untuk kehidupan di sampingnya, serta didasari atas sujud bhakti kehadapan Sang Pencipta. Bukan atas kekejaman seperti yang dituduhkan, atau bermaksud untuk menistakan mahluk hidup seperti yang kita dakwakan. Tidak … tidak… tidak… Bahkan sebelum disembelih dilakukan “penyupatan” agar si hewan kelak nanti terlahir ke dunia menjadi “wiku sakti”. Ampura…. artinya bahwa tradisi leluhur menyembelih hewan untuk upacara bukanlah sebagai “pembantaian” atau untuk “tumbal”. Niat suci para leluhur ini bukanlah sebagai sebuah k...

Aura Magis Tumpek Wayang

Sebentar lagi Tumpek Wayang. Hari patirthan Sanghyang Iswara / Sanghyang Samirana. Pada hari redite wage wuku wayang (minggu sebelum tumpek) adalah pertemuan antara Sang Sinta dan Sang Watugunung. Hari ini dikatakan “leteh” / kotor, tidak baik untuk penyucian. Sedangkan sehari sebelum Tumpek Wayang disebut “ala paksa” / “kala paksa” / “dina ala”. Karena pada hari ini Sanghyang Kala sedang berada di bumi. Itulah sebabnya Sang Gama Tirtha (umat sedarma) pada hari itu memasang “sesuwuk” yakni potongan daun pandan duri diolesi “apuh” (kapur sirih) bentuk tapak dara. Masang sesuwuk ini juga disebut “meselat” / “meselet”, karena daun pandan diselipkan di setiap bangunan rumah dan pelinggih. Demikian juga, pada setiap orang mengoleskan kapur sirih di hulu hati (dada) berbentuk tapak dara. Keesokan harinya, pada hari Tumpek Wayang, pagi - pagi sesuwuk dipunggut dikumpulkan dalam satu wadah berupa “sidi” (ayakan), diikat dengan benang tridatu. Sesuwuk yang sudah diikat di...

Purnama Kapat

Pakem Gama Tirtha Ada hari - hari yang memang utama dimana Ida Betara mareresik / mesuci, mayoga semadi untuk menciptakan agar alam semesta menjadi rahayu. Kemudian Ida Betara turun ke dunia untuk menganugrahkan kerahayuan kepada Sang Gama Tirtha (manusia) dan kepada semua mahluk. Saat itulah hari yang baik bagi Sang Gama Tirtha mengastiti puja dan menghaturkan banten kehadapan betara betari. Purnama Sasih Kapat (Kartika) dalam kidung wargasari disebutkan sebagai bulan penuh warna warni bunga harum semerbak (kartika…. panedenging sari….). Sasih Kapat, dimana Sanghyang Baskaradipati (Sanghyang Surya) tepat berada di katulistiwa. Purnama Kapat adalah purnama utama, hari payogan Ida Betara Prameswara yang bergelar Sanghyang Purusa Sangkara diiringi oleh para dewata betara - betari, widayadara widyadari, dan para resigana. Pada hari ini sang pandita patut angarga puja, apasang lingga, melaksanakan candra sewana, serta ngaturang sesaji kehadapaan Hyang Kawitan. Kepad...

BUDA CEMENG KLAU

Buda Cemeng Klau, petirtan Ida Betara Rambut Sedana (Dewa Kemakmuran / Dewa Uang). Sang Gama Tirtha patut menghaturkan banten suci asoroh, daksina, peras, ajuman, soda putih kuning kuning maulam itik, penyeneng, canang wangi wangi, menghaturkan segehan pada harta benda kekayaan seperti uang. Uang, harta kekayaan (raja brana) diperciki tirtha. Tidak boleh menggunakan sesari berupa uang. Apabila menghaturkan odalan kehadapan Ida Betara Rambut Sedana maka tidak boleh lewat dari tengah hari. Dilanjutkan dengan menghaturkan sembah bakti kehadapan Hyang Rambut Sedana memohon kemakmuran. Selama proses odalan tidak boleh “ngucah acih” / mengutak atik uang untuk suatu keperluan. Tidak boleh berbelanja ke pasar sebelum matahari miring ke barat. Demikian dikutip dari Cakepan Pakem Gama Tirtha. Waluyane kadi nasikin segara. Ampura. # GamaTirtha # SaptaGama # SunarIgama kanduksupatra.blogspot.com kibuyutdalu.blogspott.com

ODALAN DEWA NINI

Tidak banyak yang rungu bahwa Sukra Manis wuku Klau hari ini adalah petirtan Ida Betari Sri. Lumrah disebut dengan hari odalan Dewa Nini. Sang Gama Tirtha patut menghaturkan banten pala bungkah pala gantung, canang gantal, lenga wangi buratwangi, peras penyeneng daksina, tidak boleh berisi beras. Sang Gama Tirtha yang memiliki pelinggih Dewa Nini di sanggah / merajan wajib menghaturkan piodalan Dewa Nini / Betari Sri berupa sesayut pengambean. Atau bagi Sang Gama Tirtha yang memiliki jineng / lumbung, maka banten dihaturkan di lumbung dilengkapi dengan tipat dan blayag. Pengayatan ditujukan kehadapan Hyang Betari Sri / Dewa Nini memohon kerahayuan, kemakmuran, dan kesuburan. Di dalam sastra disebutkan bahwa menghaturkan odalan Dewa Nini tidak boleh lewat dari tengah hari, namun di masyarakat banyak yang melakukan pada sore hari. Demikian juga tidak boleh mengutak atik beras atau padi sebelum matahari condong ke barat. Demikian disebutkan dalam cakepan Pakem Gam...

RERAINAN BUDA MANIS DUKUT, Payogan Hyang Brahma

Pakem Gama Tirtha Banyak diantara kita yang tidak ngeh bahwa hari Buda Manis Dukut dalam pakem Gama Tirtha adalah merupakan payogan Ida Betara Brahma. Pada hari ini Sang Gama Tirtha patut maprakerti kehadapan Hyang Brhama dengan menghaturkan sesayut brahma adulang, penyeneng, tebasan abang, daksina, canang gantal, canang sari, di sanggar kemimitan dan di atas tempat tidur. Sang Gama Tirtha patut menghaturkan puja bakti kehadapan Hyang Brahma memohon kesentausaan alam semesta dengan segala isinya, dijauhkan dari segala lara roga. Demikian disuratkan dalam Cakepan Pakem Gama Tirta. Ampura. Waluya kadi nasikin segara. Dumogi rahayu sareng sami. # GamaBali # HinduBali # GamaTirtha kanduksupatra.blogspot.com kibuyutdalu.blogspot.com

Kajeng Klion Pemelastali WATUGUNUNG RUNTUH

Redite Kliwon wuku Watugung disebut Watugunung Runtuh. Mitologinya adalah sebagai berikut: Sang Prabu Kulagiri raja kerajaan Kundadwipa memiliki istri Dewi Sinta dan Dewi Landep. Mereka berdua ditinggal ke Gunung Mahameru untuk bertapa. Saat itu Dewi Sinta sedang hamil. Karena lama tak kembali, Dewi Sinta dan Dewi Landep menyusul Sang Prabu ke pertapaan. Dalam perjalanan Dewi Sinta melahirkan di atas sebuah batu. Bayi itu kemudian diberinama “Watugunung”. Singkat cerita, tabiat anak itu keras kepala. Suatu hari ia tak sabar untuk makan. Saking kesalnya, ibunya memukul kepala Watugunung dengan “siut” (pengaduk nasi) sampai terluka. Watugunung marah lalu pergi dan bertapa di hutan. Dewa Brahma menganugrahkan kesaktian bahwa ia tak akan terkalahkan oleh siapapun, kecuali musuh yang ber-Triwikrama (Wisnu). Sejak itu Watugunung menjadi angkara murka. Ia menaklukkan raja-raja mulai dari Sang Prabu Ukir, Prabu Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga.. dan seterusnya sampai Sang ...

TUMPEK LANDEP Ritual – Intelektual - Spiritual

Di dalam cakepan Gama Tirha, sejatinya Tumpek Landep adalah hari petirtan Ida Sanghyang Siwa dalam prabawa sebagai Sanghyang Pasupati. Pada hari ini Sang Gama Tirtha patut maprakerti menghaturkan sesayut pasupati, canang dan pesucian lan wangi-wangi diletakkan pada senjata tajam. Apabila itu peralatan untuk perang, maka dilengkapi dengan sesayut jayeng perang.   Selain itu Sang Gama Tirtha meyoga samadi “ngelandepin idep” (menajamkan bhatin) dan “mepasupati idep” (menguatkan pikiran). Pada hari ini juga Sang Gama Tirtha menggelar segala bentuk ajaran gama / spiritual, menggelar mantra-mantra sakti mawisesa memohon “kesidian” (kemanjuran) kehadapan   Ida Sanghyang Pasutpati. Sang Gama Tirtha juga menggelar “sarwa lelandep” (benda tajam / runcing), dimohonkan “pasupati” agar memiliki kekuatan dan ketajaman sesuai fungsinya. Sedangkan secara spiritual adalah simbol penajaman idep / pikiran Sang Gama Tirtha. Oleh karena itu benda tajam yang sering dijadikan simbol upacara...